Keluar Dari Kemiskinan, Kita Harus Optimis

By Firman 03 Okt 2019, 23:28:51 WIB Opini
Keluar Dari Kemiskinan, Kita Harus Optimis

Oleh : Yusniati

Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada asal Kepulauan Selayar, Sulsel

 

Baca Lainnya :

Ilmu ekonomi modern yang berkembang saat ini dianggap tidak produktif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi yang dihadapi seluruh bangsa (Retnandari, 2001). Seorang ekonom India Amartya Sen memberikan kritikan tajam dengan mengatakan, saat ini egoisme dan mementingkan diri sendiri menjadi dasar pertimbangan keputusan ekonomi. Sen (1991) juga mengatakan ada ketimpangan dalam masyarakat disebabkan initial endowment pelaku ekonomi di pasar tidak setara. Dan yang terakhir Menurut Sen ada salah penafsiran seseorang tentang hak menjalankan kebebasan, serta konsep mementingkan diri sendiri (individualis) yang dipaksakan dalam kaitannya dengan keagenan dan kemakmuran (Retnandari, 2001)

Jika ada pertanyaan “mengapa sesorang miskin”?, menurut Sen Ilmu ekonomi modern akan menjawab karena faktor kemalasan, padahal alasan lain yakni bisa jadi karena akses masyarakat menuju sumber daya produktif tertutup oleh sistem yang berjalan. Berdasar pemikiran ini mari kita mencari penyebab mengapa masyarakat Indonesia masih termasuk dalam kategori miskin, sudah sejauh mana penaggulangannya dan mampukah kita keluar dari predikat ini.

Dampak krisis ekonomi yang mengakibatkan krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 kemarin belum tertangani dengan sempurna. Meskipun telah merdeka selama 74 tahun, dikatakan sampai saat ini Indonesia masih belum merdeka dari kemiskinan.

Beberapa ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai berikut: Sukanto Reksohadiprotjo dan A.R. Kartseno (1985:127) mengatakan seseorang dikatakan miskin apabila penghasilan dan kekayaan yang dimilikinya saat ini kurang dari apa yang dianggap masyarakat cukup. Selanjutnya Ritonga (2003:1) memberikan definisi bahwa kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal atau yang layak bagi kehidupannya. Kebutuhan dasar minimal yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan kebutuhan pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh penduduk atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran rata - rata perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (Basic Needs Approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut dua garis kemiskinan yakni: (1) Garis kemiskinan makan; merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan (setara 2100 kalori per kapita per hari) dan (2) Garis kemiskinan bukan makanan; merupakan nilai minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan makanan lainnya.

Standarisasi Kemiskinan

Berdasarkan data BPS, Persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen, menurun 0,25 persen poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41 persen poin terhadap Maret 2018. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan perhitungan standar kemiskinan berdasarkan nilai tukar mata uang tidak tepat dikarenakan acuan dollar Bank Dunia dikonversi kedalam Purchasing Power Parity (PPP) atau dikenal dengan paritas daya beli. Untuk Indonesia yang merupakan negara dengan penghasilan menengah kebawah (Lower Middle Income), maka World Bank menetapkan PPP USD 1 setara dengan Rp. 5.105,-

Untuk negara Lower Middle Income, Bank Dunia menetapkan dua set batasan kemiskinan internasional, yaitu USD 1,9 PPP sebagai batas Ekstreme Proverty dan USD 3,2 PPP sebagai batas Poverty (Afandi, 2018). Mengikuti standar PPP maka standar kemiskinan Bank Dunia USD 1,9 itu sama dengan Rp. 9.669,-. Bila membandingkan standar kemiskinan menurut Bank Dunia dan standar kemiskinan dari BPS maka dapat dilihat bahwa standar kemiskinan Indonesia masih berada dibawah standar Poverty Bank Dunia.

Penanggulangan Kemiskinan

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi belum mampu mencapai angka penurunan kemiskinan sesuai target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dari target angka kemiskinan 7-8 persen, pemerintah hanya mampu menekan hingga, 9,41 persen hingga Maret 2019, dari semula 10,96 persen dari September 2014 (Tempo, Jakarta).

Sebagai negara yang mengantut prinsip negara kesejahteraan (Welfare State), dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia, pemerintah bersama masyarakat dan organisasi non pemerintah harus melaksanakan program-program pembangunan bermanfaat dan berkesinambungan untuk menyelesaikan masalah sosial ini.

Beberapa program yang telah terlaksana misalnya, Program penanganan masalah kemiskinan berkelanjutan di desa miskin yang dikenal dengan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program khusus untuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), Program pemberdayaan masyarakat malalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-Mandiri), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH) dan beranekaragam program penanggulangan kemiskinan lain yang diluncurkan setiap Departemen/Kementerian di setiap provinsi maupun kota/kabupaten.

Pertanyaan selanjutnya, dari sekian banyak program pengentasan kemiskinan tersebut, mengapa menurut data BPS masih ada 9,41% proporsi penduduk miskin Indonesia? Jawabannya adalah karena program - program pengentasan kemiskinan diatas belum mampu mendorong kemandirian masyarakat miskin.

Umumnya masyarakat penerima program bantuan tersebut adalah msyarakat miskin yang tidak memahami bagaimana dan seperti apa mereka harus mengelola bantuan yang diberikan pemerintah. Tentu saja hasilnya tidak akan maksimal bila bantuan tersebut tidak digunakan untuk kegiatan produktif yang membawa dampak berkelanjutan tapi lebih kepada kegiatan konsumtif. Untuk itu peran pendampingan dalam penyaluran bantuan pemerintah sangatlah penting.

Pengentasan kemiskinan mungkin belum berjalan secara optimal. Agar lebih efektif, diperlukan pengetahuan dan informasi yang lebih banyak mengenai sifat dan penyebab kemiskinan, kemudian mengembangkan kebijakan dan program yang didukung bukti empiris. Titik awal dan dasar pemahaman yang baik adalah mengenai pengembangan (berkelanjutan) data yang baik (indikator keuangan maupun non keuangan) yang mencerminkan sifat kemiskinan yang multidimensional dan mengarah ke pemahaman yang baik mengenai penyebab kemiskinan di Indonesia. (Making The New Indonesia Work for The Poor, World Bank : 2006)

Langkah awal yang harus dilakukan adalah memantapkan perencanaan agar program dapat berjalan dengan baik. Misalnya pada program PKH agar tidak terkesan sebagai program bagi - bagi uang, maka sebelum kegiatan dilaksanakan harus jelas sasaran program, estimasi waktu yang dibutuhkan dan besaran dana yang akan dialokasikan. Ini berlaku untuk seluruh kegiatan penanganan kemiskinan pemerintah.

Selanjutnya dalam tahap pelaksanaan, perlu dikaji ulang pengorganisasiannya agar tidak ada kegiatan yang tumpang tindih antar departemen. Dan yang terakhir perlu dilakukan evaluasi setiap kegiatan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program. Semakin banyak program yang tepat sasaran seharusnya akan menurunkan angka kemiskinan di Indonesia.

Optimiskah kita untuk keluar dari kemiskinan?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengetahui apa penyebab kemiskinan di Indonesia dan bagaimana pemerintah menjawab persoalan ini. Faktor - faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan diantaranya; rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan kondisi keterisolasian (Kartasasmita Ginandjar: 1996:240). Sedangkan menurut World Bank ada lima faktor yang dianggap dapat mempengaruhi terjadinya kemiskinan yaitu: pendidikan, jenis pekerjaan, gender, akses terhadap pelayanan kesehatan dasar dan infrastruktur lokasi geografis.

Menjawab persoalan ini, dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2019 terkait pemerataan pembangunan untuk pertumbuhan berkualitas, disebutkan tentang prioritas nasional pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mempercepat penurunan tingkat kemiskinan.

Program prioritas percepatan pengurangan kemiskinan diwujudkan melalui lima kerangka prioritas yaitu: (1) Penguatan pelaksanaan bantuan sosial tepat sasaran; (2) Penguatan sistem jaminan sosial; (3) Pengembangan kemitraan petani, nelayan, dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); (4) Pelaksanaan reforma agraria; dan (5) pengelolaan sumber daya alam (SDA) melalui perhutanan sosial (Sumber: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Tahun 2019)

Melihat beragamnya program yang telah dilakukan pemerintah sampai saat ini jika ditanya masih adakah harapan bagi kaum miskin di Indonesia untuk bangkit mengejar ketinggalan, kita harus optimis bahwa selalu ada harapan untuk tinggal landas dari kemiskinan. Pemerintah telah memajukan pendidikan, membuka lapangan kerja seluas luasnya untuk mengurangi pengangguran, memberdayakan masyarakat melalui program kewirausahaan dan lain sebagainya. Sasarannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain agar penduduk Indonesia dapat segera keluar dari predikat “kaum miskin”

Seorang ekonom Amerika yang juga dikenal sebagai salah satu pakar pembangunan ekonomi dunia dan pemberantasan kemiskinan, Jeffrey David Sachs dalam bukunya “The End Of Poverty”(2005) dengan sangat optimis mengatakan kita sesungguhnya bisa menghapuskan kemiskinan di muka bumi ini di masa kita hidup sekarang, bukan di masa yang akan datang. Menurut Jeffrey, dengan sistem pembangunan yang baik, dengan kekayaan dunia yang melimpah, ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, serta kemajuan teknologi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kita pasti dapat mengakhiri kemiskinan.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Write a comment

Ada 1 Komentar untuk Berita Ini

  1. kursus private 23 Okt 2019, 11:35:19 WIB

    Sekolah sangat penting untuk semua generasi penerus bangsa karena dengan sekolah mereka akan menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Sekolah sekarang gratis dan tidak dipungut biaya karena biaya dari pemerintah tidak membedakan mereka kaya atau miskin mereka harus tetap sekolah untuk mengubah masa depan mereka. Salah satunya mereka juga bisa mengikuti kursus private setelah pulang sekolah dengan begitu pelajaran yang mereka tidak paham dan mengerti mereka bisa berdiskusi dengan guru les sendiri.

View all comments

Write a comment

Bupati & Wakil Bupati

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Instagram, Youtube dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Berita TGUPP

Read More